If your pictures aren’t good enough, you’re not close enough, sebuah kutipan dari fotografer legendaris Robert Capa, disampaikan oleh Ade Rizal dalam webinar #PerpusKitaTalk, yang diselenggarakan oleh platform perpustakaan digital, PerpusKita. Kutipan ini seolah menjadi rangkuman sempurna dari materi webinar #PerpusKitaTalk bertema “Bercerita Melalui Media Visual” yang diselenggarakan pada tanggal 27 Februari 2025. Jika hasil foto yang kita buat kurang memuaskan, terutama dalam hal menyampaikan cerita, itu berarti kita belum cukup “dekat” dengan subjek yang kita foto. Kata “dekat” di sini tidak hanya merujuk pada jarak fisik antara pemotret dengan subjek potretnya, tetapi juga kedekatan emosional dan pemahaman kita terhadap subjek serta gambaran yang ingin kita ciptakan dari hasil foto tersebut.
Melalui platform Zoom, Ade Rizal berbagi wawasan tentang bagaimana foto dapat menjadi media bercerita dalam bentuk visual. Foto tidak hanya berfungsi sebagai media pembelajaran di ruang kelas, tetapi juga sebagai alat informasi di ranah digital. Terlebih di era digital seperti sekarang, di mana akses terhadap media visual semakin mudah dan dapat dinikmati oleh siapa saja. Selain berbagi pemahaman sederhana tentang perbedaan antara fotografer dan orang yang sekadar mengambil gambar, dia juga berbagi tips praktis untuk menghasilkan foto berkualitas layaknya fotografer profesional.
Kunci Menciptakan Gambar yang Bermakna
Salah satu tips paling penting bagi seseorang yang ingin memotret adalah konsep previsualisasi. Sebelum memotret, seorang fotografer harus sudah memiliki gambaran di benaknya tentang seperti apa hasil foto yang ingin dicapai. Pesan apa yang ingin disampaikan melalui gambar tersebut dan bagaimana gambar itu akan “berbicara” kepada penontonnya. Kamera hanyalah alat untuk mewujudkan gambaran tersebut ke dalam bentuk visual. Dengan previsualisasi, orang lain dapat “melihat” apa yang ada di pikiran kita melalui hasil jepretan kamera.
Bayangkan penonton foto tidak tahu apa pun tentang subjek yang kita foto. Kamera kitalah yang pada akhirnya berperan untuk menjadi mata bagi mereka. Dengan pola pikir previsualisasi, kita dapat menghasilkan gambar yang mampu menjelaskan subjek dengan jelas kepada audience. Previsualisasi membuka jalan bagi kita untuk menghasilkan foto yang bagus.
Memotret itu adalah bercerita melalui gambar. Maka proses memotret dapat diibaratkan seperti menulis kalimat. Agar cerita utuh, sebuah kalimat harus memiliki unsur-unsur seperti Subjek + Predikat + Objek + Keterangan. Siapa yang sedang melakukan apa, di mana, dan kapan. Misal keempat elemen tersebut belum terpenuhi, minimal ada subjek dan predikat: siapa yang sedang melakukan apa. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengenal subjek yang akan difoto. Setidaknya, kita harus tahu siapa atau apa yang akan kita abadikan.
Selain itu, ada pula metode EFDAT (Entire, Detail, Framing, Angle, Timing) yang merupakan salah satu pendekatan sederhana yang akan memudahkan kita dalam mengambil gambar:
- Entire: Mengambil gambar secara keseluruhan.
- Detail: Mengambil gambar dari dekat untuk menangkap detail kecil.
- Framing: Menata subjek yang akan difoto.
- Angle: Memilih sudut pengambilan gambar, bisa dari atas, bawah, atau samping.
- Timing: Menentukan momen yang tepat untuk mengambil gambar.
Beberapa foto hasil jepretannya pun ditampilkan untuk menjelaskan teori secara kontekstual.


Antusiasme Peserta dan Pertanyaan Kritis
Peserta webinar terlihat antusias selama webinar berlangsung, terbukti dari banyaknya pertanyaan-pertanyaan kritis dan teknis seputar fotografi yang satu per satu memenuhi kolom chat. Salah satu pertanyaan menarik datang dari Kak Siwi yang sedang bimbang memutuskan apakah akan membeli kamera mirrorless atau tidak. Ia merasa kamera mirrorless terlihat estetik saat digunakan untuk mengambil foto jalan-jalan, tetapi temannya menyarankan bahwa kamera handphone sudah cukup apabila hasil fotonya hanya digunakan untuk kebutuhan media sosial. Ade Rizal pun sepakat dengan saran dari temannya tersebut. Apabila tujuan membeli kamera adalah mendalami fotografi secara profesional, maka kamera mirrorless bisa menjadi pilihan. Namun, jika hasil foto hanya digunakan untuk keperluan media sosial, kamera handphone pada dasarnya sudah cukup.
Pertanyaan kritis lainnya yang muncul adalah tentang masa depan bisnis fotografi, mengingat saat ini hampir semua orang bisa mengambil foto dengan handphone. Ade Rizal optimis bahwa bisnis fotografi akan tetap relevan kapan pun dan di mana pun. Bahkan, peluangnya semakin terbuka lebar saat ini, terutama di bidang digital marketing dan branding online yang membutuhkan media visual. Dengan menguasai kemampuan visual yang baik, kita telah memiliki fondasi kuat untuk menangkap peluang tersebut. Yang terpenting adalah terus meng-upgrade diri agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.