Kenapa perlu sertifikasi fotografi??
Beberapa waktu lalu, saya dengan puluhan fotografer lain yang tergabung dalam Asosiasi Profesi Fotografi Indonesia (APFI) Jawa Tengah berkesempatan mengikuti sertifikasi profesi fotografi yang diadakan atas kerjasama Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng. Saya mendapat dua kali kesempatan ujian kompetensi sebagai fotografer dan pengolah digital yang keduanya saya dinyatakan lulus / kompeten dan berhak mendapat Sertifikat Kompetensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Saya sebagai fotografer boleh dikatakan jarang mencari pekerjaan dari instansi pemerintah, dan lebih sering bekerjasama dengan perusahaan swasta / personal. Sertifikasi kompetensi yang saya dapat ini, sebenarnya tidk secara langsung bisa saya gunakan untuk mendapatkan project-project komersial, karena saya lebih banyak “mengandalkan” kepercayaan konsumen dan portofolio yang sudah saya susun. Akan tetapi, adanya sertifikasi ini tetap perlu untuk saya dapatkan, mengingat saya tidak memiliki latar belakang pendidikan formal dalam bidang fotografi.
Pun bukan pula, Sertifikasi ini sebagai pembuktian bahwa saya sebagai certified photographer jauh lebih baik dibandingkan dengan fotografer yang mungkin tidak / belum tersertifikasi. Minimal, sertifikasi fotografi ini memberi legitimasi secara hukum dan diakui bahwa saya berprofesi sebagai fotografer dan dinyatakan kompeten sesuai dengan standart yang telah ditentukan negara.
Sertifikasi ini bukan pula sebuah jaminan bahwa setelah saya mendapat sertifikasi kemudian pekerjaan fotografi akan datang dengan sendirinya, tidak, dan salah besar jika ada pemikiran semacam itu. Ibaratkan, sertifikat yang saya pegang ini sebagai alat pancing, urusan apakah alat itu akan saya gunakan untuk mencari ikan, dengan cara seperti apa dan bagaimana memanfaatkannya, itu sepenuhnya ada di tangan fotografer pemegang sertifikat.
Perlu juga kita tilik lebih lanjut dari sudut pandang yang lain, sudut pandang konsumen foto sebagai contoh. Selama ini, apakah ada perlindungan (oleh negara) kepada calon konsumen jasa foto tentang keamanan bertransaksi jasa foto? Misalnya begini, ketika kita ingin mengkonsumsi produk halal, pemerintah hadir memberi perlindungan kepada konsumen dengan adanya sertifikasi halal.
Sertifikasi profesi fotografi, minimal menjadi penyaring awal bagi calon konsumen yang bertransaksi jasa fotografi. Dengan mengacu pada sertifikasi, saat akan bertransaksi jasa foto, minimal calon konsumen bertemu dengan “orang yang tepat” yakni benar-benar fotografer yang kemampuannya diakui oleh negara. Setelah bertemu dengan fotografer (beneran) baru kemudian bisa dilihat dari portofolio, dan kemudian (jika cocok) bisa berlanjut untuk membahas besaran biaya jasa fotografinya.
Sekali lagi saya tidak menyebut bahwa fotografer yang tidak bersertifikasi itu adalah bukan fotografer beneran, banyak fotografer beneran yang tidak memgang sertifikat. Tapi fotografer yang memegang sertifikasi sudah diakui kemampuannya sebagai fotografer profesional oleh lembaga sertifikasi yang diakui oleh negara.
Dengan adanya sertifikasi, minimal, konsumen terlindungi, konsumen tidak ketemu dengan orang yang mengaku-ngaku sebagai fotografer. Konsumen tinggal meminta fotografer untuk menunjukkan sesuatu yang bisa membuktikan bahwa seseorang yang akan dia ajak kerjasama adalah benar-benar berprofesi sebagai fotografer, salah satunya sertifikasi ini. Dengan harapan, hasil pekerjaannya pun akan memuaskan dan kerjasama tersebut menguntungkan kedua belah pihak.
Dari sisi keprofesian, jika konsumen jasa fotografi merasa puas dengan hasil kerja fotografi professional yang dilakukan fotografer, dan fotografer menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan kesepakatan, maka harkat dan martabat profesi fotografi akan tetap terjaga.